Friday, July 24, 2015

Cerita WNI Di Negeri sebelah benua (Darwin)


Celoteh Supir Taksi Asal Indonesia Membanggakan Negeri Barunya
-
Ketika saya tiba di Darwin awal Februari 2012 ini, kota yang berpenduduk sekitar 300 ribu orang di ujung utara Australia ini sedang panas-panasnya, tidak berbeda dengan di Jakarta, hanya memang Jakarta terasa begitu hiruk-pikuk sementara Darwin begitu tenang dan sepi. Meski terbilang dekat Indonesia tapi kota yang tak jauh dari kota Kupang di NTT ini tergolong sedikit dihuni oleh orang asal Indonesia. Kemungkinan orang Indonesia yang bermukin di kota ini hanya berjumlah sekitar 1000 orang, itu pun sudah terdiri dari orang Indonesia asli, campuran dan keturunannya, bahkan jumlah itu sudah termasuk sekitar 100 mahasiswa Indonesia yang belajar di Charles Darwin University (satu-satunya universitas di kota ini), baik untuk tingkat S1, S2 maupun S3. Menurut cerita, memang orang Kupanglah orang Indonesia pertamya yang mulai tinggal di Darwin dengan profesi sebagai penyelam mutiara. Namun menurut cerita yang lain, orang Makassar/Bone lah yang pertama kali datang ke Darwin untuk berdagang. Namun dengan berbagai alasan mereka tidak bertahan lama tinggal di Darwin lalu kembali ke Makassar. Sisa-sisa peninggalan mereka yaitu berbagai jenis perahu ‘phinisi’ dari pelaut-pelaut Makassar serta beberapa perlengkapan adat-istiadat mereka hingga saat ini masih bisa dilihat langsung di Museum ‘Cyclone’ di Darwin. Setiap kali singgah di suatu kota, memang selalu menarik untuk mendapatkan cerita paling gamblang tentang kota tersebut melalui obrolan ringan dengan supir taksi yang membawa kita dari bandara ke hotel atau sekedar berkeliling sejenak di dalam kota itu. Seorang supir taksi asal Indonesia berdarah Arab yang telah lebih dari 30 tahun tinggal di Darwin, dengan logat Jawanya bercerita tentang betapa sederhana dan menyenangkannya hidup ini di kota ini, terutama bagi dirinya yang berprofesi sebagai supir taksi karena hanya berijasah SMA di Indonesia dan tidak memiliki ketrampilan lainnya. Tapi meski begitu ia merasa nasibnya jauh lebih beruntung dibanding supir taksi di Indonesia yang masih dianggap sebagai pekerjaan rendahan dengan income yang terbatas. Menurutnya, di Darwin dan mungkin Australia pada umumnya setiap profesi dihargai sama derajatnya, bahkan semakin kasar (mengandalkan fisik/tenaga) pekerjaannya maka akan semakin dibayar mahal dalam hitungan per jam kerjanya. Tidak heran jika seorang operator di pabrik, pekerja di lapangan, trollyman bahkan Cleaner (Office Boy) bisa dibayar lebih mahal per jamnya dibanding seorang staf yang sebagian besar kerjanya di dalam ruangan kantor (office). Si supir taksi meneruskan ceritanya, di Darwin ini kita sulit membedakan antara orang kaya dengan orang miskin. Seorang pejabat pemerintah/publik atau pengusaha kaya hampir sulit dibedakan dengan kebanyakan orang lainnya termasuk dibandingkan dengan bawahan atau karyawan mereka sendiri. Gaya penampilan mereka sederhana, apa adanya, tidak ‘wah’, tidak ‘jaim’ (jaga image) dan tidak ada primordialisme. Mungkin karena orang yang datang ke Australia adalah orang buangan dari negara asalnya Inggris yang dikenal sangat kuat memegang tradisi, pikir saya sambil terus melayani si supir berceloteh. Di Darwin, mobil bukanlah barang mewah atau lambang dari status ekonomi seseorang, karena hampir semua orang di sini punya mobil, hanya soal merek, lama/baru dan murah/mahal harganya saja yang berbeda. Yang paling membedakan orang yang satu dengan lainnya di sini adalah dalam hal berapa jumlah uang di rekening banknya, kata sang supir taksi sambil tertawa terbahak dan tampak bahagia di usianya yang mendekati 70 tahun. Contoh lain katanya, Chief Minister dari Northern Territory (setingkat Gubernur di Indonesia) yang sekarang ini pada awalnya pernah bekerja sebagai tenaga kasar. Biasanya, kecuali pada acara-acara resmi pemerintah, bila beliau berada di tengah-tengah masyarakat untuk menghadiri atau membuka acara-acara tertentu atau sekedar menengok dan ‘say hello’ masyarakatnya, maka ia seperti layaknya orang kebanyakan yaitu memakai celana jeans, baju lengan pendek yang terkadang kaos T-shirt dan bersepatu kets. Kalau akhir-akhir ini kita sedang dikejutkan oleh penampilan Menteri BUMN Dahlan Iskan berkostum demikian, maka itu tidak aneh di Darwin ini. Sikap simpatik lainnya adalah kebiasaannya yang selalu mendatangi, menyalami, menegur dan mengucapkan selamat bergembira kepada peserta yang hadir, dengan senyumannya yang ramah. Bukan sebaliknya, minta didatangi, minta ditegur, minta dijamu dan lainnya yang intinya adalah minta dihormati. Yang lebih hebat lagi, mereka menganggap jabatan publik yang sedang diduduki saat ini adalah ‘amanah’ dari masyarakat, dan apabila mereka sudah dianggap tidak mampu atau tidak dipercaya lagi oleh masyarakat, maka mereka akan rela melepaskannya tanpa perlu ngotot mempertahankannya atau menjadi ‘tambeng’ berpura-pura tidak tahu seperti kebanyakan pejabat publik kita sekarang ini saat kinerjanya sudah dinilai buruk oleh masyarakat. Di sini menjadi pejabat publik itu bukan untuk mencari duit lagi, mereka berlomba-lomba menunjukkan sikap terbaik dalam melayani masyarakat, sikap ‘amanah’ mereka sudah cukup teruji. Rupanya penerapan ajaran Islam agar menjadi ‘pemimpin yang amanah’ justru sudah diterapkan hingga pimpinan tertinggi di negara yang non islam ini. Masih tentang Islam, si supir taksi dengan nada tinggi mengatakan bahwa ajaran-ajaran Islam justru diterapkan secara baik di sini (Darwin) dibandingkan di negara kita. Ia mencontohkan setiap waktu sholat Jumat, para sipir penjara dengan bus tahanan mengantar para tahanan muslim untuk sholat di Mesjid Islamic Center Darwin. Begitu pula, para sipir penjara wanita secara berkala membawa para tahanan muslimah untuk berekreasi ke tempat-tempat wisata, terlihat begitu gembira para wanita berjilbab itu berhamburan keluar bis menuju tempat wisata tersebut. Apakah itu juga dilakukan di penjara-penjara kita, di penjara-penjara yang mengaku negara Islam, rasanya tidak… mungkin termasuk di Arab Saudi yang memperlakukan TKW kita saja seperti budak… katanya kembali dengan nada yang keras. Ia juga bilang bahwa Pemerintah Northern Territory bahkan Pemerintah Australia ternyata tidak rasialis sebagaimana di-isukan selama ini (sekolah-sekolah menengah di Melbourne memberikan mata pelajaran tentang multikultural kepada siswanya agar kelak mereka bisa hidup berdampingan bersama penduduk lainnya di kota itu yang berasal lebih dari 200 negara dengan membawa budaya, adat-istiadat, kebiasaan, agama dan kepercayaan mereka masing-masing). Di Darwin Northern Territory, orang-orang kulit hitam (Afrika: Sudan, Kongo, dan lainnya), orang-orang Asia (Cina, India, Filipina, Thailand, Arab, dan lainnya), bahkan para pengungsi dan orang Aborigin memiliki kebebasan yang sama mendapatkan haknya untuk hidup dan memperoleh pekerjaan yang layak. Malah sebaliknya, cukup banyak orang Aborigin dan para pengungsi yang justru malas bekerja keras karena terlena keenakan telah menerima subsidi pemerintah sekitar 400 AUD per 2 minggu. Namun sambil menggeleng-gelengkan kepala dan mulut mencibir, si supir mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan kebijakan tersebut yang justru merusak mental dan menjerumuskan generasi berikutnya dari orang Aborigin.  Meskipun demikian, kebebasan yang diberikan terbukti telah banyak melahirkan orang-orang Asia yang sukses di Darwin baik sebagai pengusaha maupun dalam bidang akademis (Pelajar Teladan Tahun 2011 di Darwin Middle School adalah seorang anak Korea, sekitar 50% dari 16 siswa terbaiknya adalah anak-anak non Australia). Meskipun selama ini sangat selektif menerima orang bangsa lain memasuki negerinya, tapi ternyata Australia kemudian membuka lebar-lebar kesempatan bagi semua penghuninya. Seolah masih banyak lagi yang ingin disampaikan, si supir menambahkan lagi cerita tentang kesetaraan, kesederhanaan dan pemimpin yang amanah tadi, tetapi sekarang dari pengalaman yang dialaminya sendiri. Beberapa tahun lalu, ia pernah bertemu dengan salah seorang Menteri di Kabinet Australia yang berasal dari Northern Territory. Suatu ketika di saat reses kabinet, ia kembali ke tempat asalnya di Darwin. Meskipun seorang Menteri, ia menumpang pesawat domestik dengan fasiltas sebagaimana halnya penumpang umum lainnya. Jangan dibayangkan ia akan menggunakan segala fasilitas selayaknya seorang Menteri kabinet yaitu dengan pengawalan cukup dan tentunya tiket kelas eksekutif, sebagaimana yang masih sering kita jumpai di negara kita. Katanya hal ini adalah pemandangan yang biasa di sini. Bahkan sesampainya di bandara Darwin, sang Menteri hampir selalu menggunakan taksi untuk menuju ke rumahnya. Bukan dia tidak punya mobil atau tidak punya uang untuk membayar orang menjemputnya, tapi sikap mental hemat, sederhana (tidak ngoyo, mau disanjung) dan tidak mau menyulitkan orang lain (untuk membantunya) inilah yang begitu tertanam dan mengakar pada pribadi mereka sebagai pejabat publik, sehingga menjauhkan mereka dari kemungkinan menggunakan fasilitas pemerintah yang tidak selayaknya digunakan di hari libur mereka. Kapan pejabat kita bisa seperti itu Pak supaya uang negara tidak digunakan terus untuk kepentingan pribadi… katanya lagi. Entah apakah ia betul-betul bertanya atau sinis bahwa hal itu sulit bahkan tidak mungkin akan pernah terjadi. Pengalaman langsungnya dengan sang Menteri adalah ketika secara kebetulan bagasi sang Menteri mengalami masalah ketika tiba di bandara Darwin. Setelah ditunggu tidak muncul juga dan setelah menghadap petugas airlanenya diketahui bahwa bagasi tidak terbawa ke Darwin atau nyasar terbawa pesawat lain ke kota tujuan lain di Australia. Pendek kata, bagasinya tidak bisa dibawa pulang langsung ke rumah hari itu juga, melainkan harus menunggu beberapa hari (biasanya 1-2 hari) baru bisa diambil di bandara. Rupanya masalah bagasi nyasar atau tidak terangkut juga bisa terjadi pada seorang Menteri dari sebuah negara maju seperti Australia. Ironisnya, hal itu terjadi pada seorang Menteri Transportasi yang notabene bidang itu merupakan tanggung jawab dari Kementerian yang dipimpinnya sendiri. Dan cerita si supir yang terakhir dan paling bernada bangga diceritakannya adalah bahwa ia dan taksinya yang akhirnya kebetulan mendapat tugas membawa bagasi yang tertinggal tersebut dari bandara ke rumah sang Menteri. Dan di sana, ia menelepon sang Menteri untuk keluar dari rumahnya dan mengambil barang bagasinya. Ketika itu sang Menteri sendiri yang keluar rumah dan mengambil serta mengangkat bagasi tersebut tanpa meminta bantuan dirinya, yang menurutnya ketika itu ia pun enggan membantu mengangkatnya meskipun diminta. Sungguh sikap yang patut diteladani dari seorang pejabat publik yang berasal dari negara maju, yang sederhana, hemat dan tidak menggunakan fasilitas negara yang bukan haknya. Kapan pejabat publik kita bisa punya mental begitu Pak… saya pun hanya terdiam seakan berputus asa, sambil membayangkan begitu berlimpahnya harta Gayus dan mungkin masih banyak PNS-PNS muda lainnya yang demikian. Meski merugikan begitu banyak uang negara namun hukumannya begitu ringan, meski mereka dipenjara namun bebas berkeliaran di luar negeri… begitu panjang dan memilukan untuk menyebutkan kasus-kasus sejenis yang terjadi hingga saat ini di negara kita. Terima kasih Pak Supir Taksi, saya baru menerima ‘kuliah’ dari pelaku di lapangan yang obyektivitas dan keakuratan ilmunya mungkin tidak kalah dari Professor di Universitas yang seringkali hanya textbook dan tidak membumi. Semoga cerita beliau benar adanya demikian, mohon maaf kalau ada yang keliru atau salah, maklum namanya juga ‘ngobrol-ngobrol’, sama supir taksi lagi… tapi ini supir taksi di Negara barunya, Australia. Meski demikian, saya seharusnya mengingatkan dia akan pepatah dari tanah leluhurnya yang mengatakan “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, yang artinya setiap daerah itu memiliki adat-istiadat yang berbeda-beda, jadi ‘yang benar disana belum tentu benar di sini’ atau sebaliknya ‘yang salah di sana belum tentu salah di sini’, yang penting kita harus bisa tetap menyesuaikan diri pada tempat diman kita berada dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran yang hakiki. Semoga bermanfaat… PADAMU NEGERI KAMI MENGABDI… Darwin, 14 Februari 2012